Aku punya dua adik laki-laki dan satu adik perempuan, orangtuaku kerap bertengkar semasa kanak-kanakku.
Kondisi rumah tua keluarga di kampung
Aku orang yang agak tertutup, suka membaca, dan aku hanya bisa menangis saat teraniaya.
Aku selalu cermat dan teliti dalam melakukan segala sesuatu, sehingga terkesan lambat.
Ini jugalah yang membuat aku tidak disukai ibu. Ibu lebih suka dengan karakter adikku, tidak sabaran seperti dirinya.
Ayahku adalah buruh migran, biasanya baru pulang sekali saat Tahun Baru, terkadang tidak pulang kalau tidak ada uang.
Saat itu ibu sering memarahi ayah, dan aku yang selalu membantu ayah kalau ibu lagi marah-marah, karena itulah, aku benar-benar tidak bisa bersikap yang menyenangkan ibuku.
Kemiskinan hidup semasa kecil.
Ayah-ibu sama sekali tidak sanggup menghidupi 4 anak sekaligus kala itu, kami empat bersaudara sudah harus mencari nafkah sebelum sempat lulus SMP.
Sejak usia 15 tahun, aku sudah bekerja, awalnya hanya bisa menjadi pembantu, dengan gaji 400 ribu sebulan.
Biasanya ibu selalu lebih dulu mengambil gajiku tanpa menyisakan sepeserpun untukku, sampai-sampai aku tidak punya uang untuk membeli pembalut wanita.
Belakangan, aku dan adik perempuanku bekerja di pabrik, gajinya jauh lebih besar dari sebelumnya, dan sekarang ibu tidak bisa lagi mengambil gajiku, tapi ayah-ibu selalu meminta uang setiap kali menelepon.
Aku bekerja di pabrik
Saat berumur 18 tahun, orang tuaku mencarikan calon seorang pria cacat mata untukku, anak dari sebuah keluarga di daerah kota yang lumayan mapan secara ekonomi.
Tapi aku menolaknya, kemudian aku pergi ke luar daerah dan belajar akuntansi secara otodidak.
Selama di tempat baru ini, aku menjalin hubungan dengan seorang teman pria yang 10 tahun lebih tua dariku.
Aku belajar akuntansi secara otodidak
Orangtuaku pikir pacarku pasti kaya raya karena seorang bos, jadi mereka setuju aku menikah dengannya.
Tapi setelah menikah, mereka baru tahu suamiku ternyata hanya seorang bos kecil, jauh dari yang mereka bayangkan.
Melihat kenyataan itu, orangtuaku agak menyesal, mereka sering mengeluh padaku dan mengatakan bahwa anak perempuan lain sudah meminta mahar yang besar tidak sepertiku.
Kalau saja saat itu aku meminta mahar yang besar, maka kedua adikku juga sudah lama menikah dari dulu!
Sebelum menikah, aku selalu hidup hemat dan mengirim uang untuk orangtuaku.
Dan sekarang kondisi ekonomi jauh lebih baik setelah menikah, aku selalu memberi mereka lebih dari 20 juta setiap tahun, ditambah lagi kiriman dari adik perempuanku.
Sementara kedua adikku lainnya sudah lebih dari dua tahun menganggur di rumah.
Sebentar-bentar bilang mau kursus ini-itu, tapi tak lama kemudian malas lagi.
Sedangkan adikku yang bungsu baru kerja beberapa bulan sudah mau beli mobil bekas.
Padahal gajinya sama sekali tidak mampu untuk biaya pengeluaran sehari-hari dan apalagi perawatan mobil, akhirnya meninggalkan utang sebesar Rp. 150 juta.
Tahun lalu, adikku bilang mau berbisnis dan membujuk ibuku, akhirnya ibu meminta aku talangin dulu Rp. 500 juta sebagai modal investasi.
Aku terpaksa memberinya karena tidak mau berdebat dengan ibu yang bersikeras dengan kehendaknya.
Aku juga pikir itu adalah berkah bagi ayah-ibu jika memang adikku benar-benar sudah berubah lebih baik.
Tapi adikku bukanlah tipe pebisnis, apalagi tidak pernah mau mendengar nasehat orang lain, akhirnya merugi.
Akhirnya, seluruh keluarga menyalahkan aku tidak seharusnya memberikan uang untuk modal bisnisnya.
Aku disalahkan karena menyebabkan adikku menjadi sangat royal dengan uang, bukannya kerja dengan sepenuh hati, tapi mau langsung menjadi bos besar.
Mereka sama sekali tidak peduli bagaimana dengan perasaanku yang kehilangan uang sebanyak itu. Singkatnya apa pun yang kulakukan selalu aku yang disalahkan.
Tahun ini, adikku menikah. Aku dan adik perempuanku patungan membangun rumah untuk pernikahannya.
Sementara adikku, dimana karena masih punya utang Rp. 150 juta, jadi sama sekali tidak mengeluarkan uang sepeser pun!
Menurut adat istiadat desa kami, saat adik laki-laki menikah, sebagai kakak perempuan memberikan amplop sebesar 10 juta rupiah, dan 200 ribu untuk adik ipar, ini juga sudah cukup.
Kelak jika sang kakak yang menikahkan anaknya, maka sang adik yang memberikan amplop balasan seperti itu.
Tapi mereka pikir aku kaya, sehingga merasa uang segitu masih kurang!
Dan tak disangka, ibu menyuruh adikku meminjam uang padaku dan adik perempuanku untuk melunasi utangnya.
Secara lisan memang pinjam, tapi sebenarnya minta, atau lebih jelasnya lagi meminta menantu laki-lakinya untuk memberikan sejumlah uang.
Baru saja kehilangan 500 juta rupiah, sekarang aku mana punya uang lagi?
Karena aku tidak bisa memberikan uang itu, ayah-ibuku pun mulai marah, dan adikku pun bertengkar denganku.
Orangtuaku memang aneh, mereka lebih suka anak yang suka merengek/menangis, anak yang lebih bisa bersikap dewasa, justeru semakin tidak disukai mereka.
Sebaliknya anak yang suka bertingkah/dibuat-buat, malah semakin disayang mereka.
Selain itu, orangtuaku juga lebih mementingkan anak laki-laki daripada anak perempuan.
Ada urutannya, yakni anak laki-laki lebih penting daripada anak perempuan, anak bungsu laki-laki jauh lebih penting daripada anak sulung, sementara, anak bungsu perempuan lebih penting daripada anak sulung perempuan, dan aku adalah anak yang paling tidak penting bagi mereka.
Ada uang, mereka gunakan, kalau tidak ada atau kurang, mereka langsung menggerutu!
Tapi bagaimanapun juga, orangtua tetaplah orang tua, orangtua melahirkan dan membesarkan aku, ini adalah budi, tidak boleh dilupakan.
Adikku tidak bisa bersikap dewasa, aku yang akan berbakti untuknya.
Di saat mereka masih sehat, aku ingin membiayai mereka jalan-jalan ke tempat yang belum mereka kunjungi, menikmati makanan yang belum pernah mereka makan.
Bukan seumur hidup menjadi sapi perah anak-anaknya, terutama anak yang tak berguna yang hanya bisanya merongrong orangtuanya.
Aku telah menyiapkan sejumlah dana untuk mereka jalan-jalan, tapi ayah justeru mengatakan bahwa dia bisa mendapatkan Rp. 400 ribu setiap hari, jadi tidak mau pergi kemana pun, sementara ibu bilang lebih baik uang itu diberikan untuk adikku.
Aku terpaksa membohongi mereka bahwa tiket sudah terlanjur dibeli, kalau tidak pergi maka dua tiket seharga 6 juta ini tidak bisa dikembalikan.
Namun, dengan kesal ayahku bilang, ya sudah kalau tidak bisa dikembalikan. Di matanya, Rp. 400 ribu lebih besar daripada Rp. 6 juta.
Aku tahu kenapa ayah bersikap sepeti itu, karena Rp. 400 ribu dari hasil kerjanya setiap hari itu adalah uang untuk anak laki-lakinya.
Sedangkan 6 juta yang tak bisa dikembalikan itu adalah uang anak perempuannya yang “dibuang (anak perempuan yang sudah menikah dianggap anak yang sudah tidak berhubungan dengan keluarga)”.
Uang dari anak laki-laki adalah uang, sedangkan uang anak perempuannya itu baru dianggap uang kalau sudah berada dalam genggaman mereka, kalau tidak hanyalah kertas bekas yang tak berguna.
Keputusan yang paling tepat dalam seumur hidupku adalah menikah dengan suami yang jauh, meski terkadang aku akan merasa kesepian, tapi aku punya suami yang sangat baik kepadaku, memberi banyak kehangatan dan kebahagiaan yang belum kurasakan sebelumnya
An investment property loan is a cash credit obtained for the purpose of purchasing a residential or commercial property wherein the property buyer plans to make an ongoing or long-term profit in the future. The money granted as loan may be used to purchase a vacation property, a piece of land, condominium unit, upper fixer property, apartment, single-family house and a single detached house. However, the money granted as loan cannot be used for other business purposes. There are three major types of investment loans, and they are those that require collateral, those that need a big down payment (higher than 20 percent) to get lower interest rates and the ones that either require the investor to pay the down payment cash or only a part of it.
What are the loan requirements?To be able to obtain an investment property loan, you need to have a good credit score, enough cash reserve to make payments during months when your investment property has no income, at least 20 percent down payment, proof of income and most of all the property that you wish to purchase must pass the property appraisal. For those who do not have a very good credit score, there is still chance for you to get approval. You may consider getting an investment partner who has a very good credit rating. If you wish to get an investment property loan, it is important to strengthen your credit rating at least six months before your loan application. Paying off delinquent debts and closing old accounts only before getting a loan might negatively affect your chances for loan approval. If you have a low credit score, it is most helpful to get professional advice before you do any kind of measures.
What is the process of getting an investment property loan?Assuming that you have already strengthened your credit score as a preliminary step, the first step is to aggressively shop around for lenders and compare their interest rates before making a decision. Aside from interest rates as your major consideration in choosing a lender, also scrutinize their lending requirements because there are some lenders that are less stringent than others. Then, file your application and you will be asked for your personal information such as your employer's name and address, your social security number and many more. After you complete the application process, a verification process will be performed by the bank or lender. They will check your credit score and perform an income evaluation. After you pass the verification, the lender will check if you can afford to make a substantial down payment which would be around 20-35 percent depending on the lender you've chosen. Applying for investment property loans nowadays have become more strict compared to before, and to get approval you don't only need enough down payment and proof of your excellent credit record, you also have to choose a property that is worth your investment property loan and that will be profitable in the future.